“maiorem hac dilectionem nemo habet ut animam suam quis ponat pro amicis suis”
Evangelium secundum Ioannem (15:13)
“Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.”
Injil Yesus Kristus menurut Yohanes (15:13)
St.Tarcisius, atau Tarsicius, dalam Gereja Katolik Roma merupakan seorang santo, ia hidup di Roma pada abad ketiga Masehi. Catatan mengenai dirinya didapat dari puisi yang dibuat baginya oleh Paus Damasus I (paus ke-37, 366-384 M), yang menjadi paus setidaknya seabad setelahnya (“Damasi epigrammata”, 13). Pada puisi tersebut Paus Damasus I membandingkannya dengan martir pertama Stefanus: karena seperti martir ini dirajam oleh orang Yahudi, maka demikianlah juga Tarcisius diserang oleh para berandal kafir. “Ketika segerombolan anak jahat melibatkan diri mereka kepada Tarcisius yang sedang membawa Ekaristi, bermaksud untuk mencemarkan Sakramen itu, anak laki-laki itu memilih menyerahkan hidupnya daripada menyerahkan Tubuh Kristus kepada anjing-anjing liar itu.”
Par meritum, quicumque legis, cognosce duorum,
quis Damasus rector titulos post praemia reddit.
Iudaicus populus Stephanum meliora monentem
perculerat saxis, tulerat qui ex hoste tropaeum,
martyrium primus rapuit levita fidelis.
Tarsicium sanctum Christi sacramenta gerentem
cum male sana manus premeret vulgare profanis,
ipse animam potius voluit dimittere caesus
prodere quam canibus rabidis caelestia membra
Cerita mengenai Tarcisius juga terdapat dalam buku karangan Nicholas Cardinal Wiseman, Fabiola or The Church of the Catacombs , di mana kisahnya kemudian menjadi dikenal secara luas :
Pada masa itu, Kekristenan mengalami penindasan oleh para pagan. Banyak dari para Kristen yang dibunuh, ada yang diracun, maupun diumpankan kepada singa di Colloseum. Untuk menghindari para pagan, kaum Kristiani membuat jalur-jalur dan ruang-ruang bawah tanah, yang disebut Catacomba. Di tempat ini mereka mengadakan Misa Kudus, di mana setiap Kristiani menerima Komuni Suci dan juga menerima petunjuk dari uskup dan imamnya. Pada saat itu, para tawanan Kristen merindukan menerima Komuni Suci, sehingga mereka menyampaikan pesan kepada uskupnya agar mereka dapat menerimanya. Setelah usukupnya mendengar, lalu dipikirkan siapa yang akan membawanya. Para uskup dan imam jelas tidak bisa, karena resikonya mereka dapat ditangkap dan dipenjarakan; juga banyak dari orang-orang Kristen yang ada. Ketika itu, seorang anak yatim-piatu bernama Tarcisius, berlutut dekat kaki uskup dan memohon agar ia diperbolehkan membawanya. “Aku masih kecil, orang-orang pagan akan berpikir bahwa aku hanyalah anak kecil pengantar pesan, dan membiarkan aku lewat.”
Di jalan, Tarcisius bertemu dengan teman-teman sekolahnya. Mereka akan memulai permainan, namun membutuhkan satu orang lagi agar jumlahnya genap. Ketika dilihatnya oleh mereka Tarcisius yang sedang berjalan, mereka mengajaknya untuk bermain. Tarcisius menolaknya, berkata bahwa ia sedang membawa suatu pesan penting. Anak-anak itu, yang melihat Tarcisius membawa sesuatu, mencoba merebutnya. “Dia orang Kristen. Dia menyembunyikan sesuatu misteri Kristen padanya.” Mereka menendang, memukul, berusaha sekuat tenaga untuk merebut yang ia lindungi, namun tangan kecil itu tetap tak bergerak, tangan itu begitu kerasnya memegang erat apa yang ia bawa dengan penuh kepercayaan. Sepertinya ia mendapat kekuatan yang begitu kuat sehingga dapat menahankan semua serangan itu. Pemandangan itu menarik perhatian orang-orang yang lewat, mereka menanyakan apa yang terjadi. Mengetahui bahwa Tarcisius adalah seorang Kristen, melayanglah pukulan dan serangan kepada anak kecil itu.
Lalu datanglah seorang prajurit, Quadratus, memisahkan gerombolan itu. Quadratus juga seoarng Kristen, Tarcisius mengenalinya karena mereka sering bertemu di katakomba. Ia menyerahkan Sakramen Mahakudus kepada Quadratus, dan dalam senyum kemartirannya ia pun meninggal.
Quadratus lalu membawanya ke pemakaman Santo Callistus, di mana ia dibaringkan di tengah kekaguman kaum beriman lainnya yang lebih tua, dan di kemudian hari Paus Damasus yang suci memberikan epitaph kepadanya, di mana tak seorang pun yang membaca tak dapat menarik kesimpulan bahwa kepercayaan terhadap kehadiran sejati Tubuh Tuhan kita dalam Sakramen Kudus waktu itu adalah sama seperti yang dipercayai Gereja sekarang.
Kemungkinan Tarcisius adalah seorang diakon, karena Damasus membandingkannya dengan Stefanus. Lagipula, tugas Diakonlah yang membagikan Komuni pada kesempatan-kesempatan khusus dan serta mengantar Hoisti dari gereja ke gereja. Suatu tambahan pada legenda kemartiran abad keenam dari Paus Stefanus menjadikan Tarcisius sebagai seorang akolit (Putra Altar). Tambahan ini kemungkinan didasarkan pada puisi Damasus.
Tarcisius dimakamkan di Katakomba Paus St. Callistus yang terletak di Appian Way. Di abad keempat Paus Damasus I memahatkan tanggal kematiannya, 15 Agustus 257. Reliknya disimpan di Gereja San Silvestro in Capite di Roma.
Santo Tarcisius adalah santo pelindung para putra altar, komuni pertama, dan para remaja. Pestanya dirayakan pada tanggal 15 Agustus. Hanya saja karena pada tanggal tersebut Gereja merayakan Pesta Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga, maka Santo Tarcisius tidak dimasukkan ke dalam Kalender Umum Romawi, hanya di Martirologi Romawi saja.
Dalam litani para martir, Santo Tarcisius disebut sebagai “pemuda dengan teladan yang baik serta pembela Iman yang berani.” Bahkan pada usia yang amat belia (12 tahun), Tarcisius telah menyadari taruhannya akan Iman. Ia sadar sepenuhnya akan apa yang sedang ia bawa. Yesus mati untuk cinta, seperti yang diberikan oleh Tarcisius; maka demikian juga Tarcisius tidak ragu-ragu untuk mati demi cinta Yesus kepadanya. Mati untuk Yesus, menyerahkan diri kepada Tuhan, dapat dilakukan siapa saja, kapan saja di mana saja. Kecintaan kepada Allah tidak perlu menunggu untuk sesuatu perbuatan besar, yang menimbulkan kemasyhuran. Bahkan dalam perbuatan yang sederhana itupun tersimpanlah kemegahan para martir. Tarcisius berbangga dalam keteguhannya akan iman. Maka demikianlah seperti yang tampak di awal (Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya), Tarcisius menyerahkan nyawanya demi Sahabatnya, sama seperti dulu yang Yesus lakukan demi sahabat-sahabat-Nya. Ia melakukan yang terbaik yang dapat dilakukannya demi apa yang ia percayai, demi orang yang ia cintai. Suatu perbuatan, sesederhana apapun, asal dilakukan dengan hati yang tulus, memberikan kepuasan dan ketenangan dalam jiwa. Mungkin Tarcisius mati dalam raga, namun yagn pasti jiwanya abadi, teladannya abadi.
“St. Tarsisius doakanlah kami agar senantiasa berdiri tegak mempertahankan iman kami”